Pengertian beransai adalah bersantai atau relaks gaya Belitong. Syarat beransai adalah bila pekerjaan beres, perut kenyang dan pikiran tenang.
Prosesi Beransai dilakukan pada siang hari saat dengan duduk dilantai beralaskan tikar misalnya lalu bersandar pada tiang atau dinding rumah sambil meluruskan kedua kaki. Keanggunan dari komposisi tubuh demikian lalu diperindah lagi dengan sentuhan keramahan alam berupa angin semilir sepoy-sepoy. Lalu sempurnalah beransai. Dan klimaksnya manusia yang berbahagia itupun akhirnya tertidur.
Kebiasaan beransai ini diduga memasyarakat seiring dengan munculnya peradaban rumah panggung berlantai papan dikalangan masyarakat Melayu Belitong. Staruktur lantai papan yang sering susunannya sering merenggang karena mengkerut menciptakan kayu itu menimbulkan celah yang secara tak sengaja membuat sirkulasi udara menjadi semakin baik.
Jelasnya tiupan udara sejuk yang bergerak dari bawah kolong rumah yang disebut beruman ini, naik secara berirama melalui celah lantai lalu berputar-putar di dalam rumah dan keluar lagi melalui pintu atau jendela. Sirkulasi udara inilah yang menciptakan kenikmatan sehingga orang kan betah berlama-lama beransai. Kenikmatan beransai juga menghasilkan ungkapan “Bansai” atau banzai ( Jepang ) yang berarti mantap, oke atau sip.
Berdasarkan siklus angin dan cuaca, peluang beransai akan banyak terjadi pada musim angin Timur yang lembut sekitar bulan Juni – Juli. Dan bila ditinjau dari sisi gender, wanita lebih banyak melakukan aktivitas beransai dibandingkan laki-laki. Alasannya cukup sederhana, karena perempuan relatif lebih banyak berada dirumah ketimbang laki-laki. Sedangkan bagi kaum ibu beransai dianggap sebagai ritual penutup selepas menunaikan pekerjaan rutin rumah tangganya seperti bebasun ( cuci piring ), beringkas ( beres-beres ), nyesa ( mencuci ), ngenjemor ( menjemur pakaian ), masak dan mentanak ( menanak nasi ).
Aktifitas beransai kadangkala dibumbui dengan aktifitas budaya lain yakni Mengkutuan. Yaitu sebuah bentuk pola interaksi sosial kaum wanita Melayu berupa kegiatan mencari kutu rambut secara berjamaah. Sangat disayangkan bBelakangan budaya Mengkutuan ini bisa dikatakan bergerak menuju kepunahan. Alasannya, selain dianggap sudah ketinggalan jaman atau sedikit kurang etis juga terganggu kelestariannya karena peredaran obat pembasmi kutu. Dan tidak bisa dipungkiri memang, modernisasi dan kepraktisan kadang memang seringkali menjadi penyebab punahnya sebuah budaya.
Mungkin budaya beransai suatu saat akan lenyap dan tergantikan dengan duduk diskusi malas sambil nonton TV dalam dekapan dinginnya penyejuk udara. Sebuah contoh, budaya Ngendirikan Telasar misalnya pada prosesi begawai ( resepsi pernikahan ) sekarang sudah tergantikan perannya oleh budaya sewa menyewa tarub/tenda. Budaya Berage dan Makan Sedulang yang mengandung unsur pelayanan, penghormatan dan kebersamaan perlahan-lahan terkikis oleh budaya prasmanan ( makan ala Prancis ) tanpa layanan-tanpa penyajian alias mengambil sendiri-sendiri ( individu ).
Berkaitan dengan perlindungan terhadap budaya Belitong, salah satu kiat yang mungkin bisa kita lakukan adalah dengan senantiasa menghidupkan serta senantiasa menarik nilai moral, filosopi dan tujuan budaya itu di buat dengan bijak. Sebab tujuan budaya itu sendiri adalah titik kekuatan suatu budaya. Sebab seringkali sebuah budaya lenyap karena tujuan, nilai moral dan filosopi yang tidak jelas. Selain itu, konsep modernisasi, kemajuan, kepraktisan, efektifitas, efisiensi dan ekonomis perlu dicermati agar jangan sampai terlalu mengintervensi dan bersinggungan dengan ‘wilayah’ budaya.
Jakarta, Juli 2007
Tinggalkan Balasan